Dalam penanganan kejahatan internasional, seperti yang telah diuraikan
pada bab pendahuluan, diperlukan kerjasama internasional karena tidak
ada satupun negara di dunia yang dapat memerangi kejahatan internasional
sendirian. Hal ini disebabkan banyaknya permasalahan yang timbul dalam
hal penanggulangan kejahatan berdimensi internasional, antara lain : (Upaya Polri dalam Menanggulangi Kejahatan Transnasional, Mabes Polri,Jakarta, 2006, hal 7)
1) Keterbatasan kewenangan sesuai batas negara dan yurisdiksi.
Kewenangan aparat penegak hukum didalam melakukan kegiatan penegakan
hukum dibatasi oleh suatu wilayah yang berdaulat penuh sebagai batas
dari yurisdiksi hukum yang dimilikinya. Sedangkan di sisi lain, para
pelaku kejahatan dapat bergerak dengan lebih bebas melewati batas negara
sepanjang didukung dengan dokumen keimigrasian yang memadai. Pada
umumnya kecepatan gerak penegak hukum jauh tertinggal dari kegesitan
pelaku baik dalam upaya melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Karena meskipun telah ada kesepakatan kerjasama untuk menangani
kejahatan, namun dalam pelaksanaannya harus melalui proses birokrasi
yang sulit.
2) Perbedaan sistem hukum
Kendala yuridis lebih disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum
pidana di antara negara anggota. Ada negara yang menganut sistem
kontinental dan ada pula yang menganut sistem anglo saxon. Perbedaan
besar terutama terdapat dalam sistem peradilan pidana yaitu ada yang
menganut due process model (lebih menitikberatkan pada perlindungan hak
asasi manusia bagi tersangka, sehingga menimbulkan birokrasi yang cukup
panjang dalam peradilan pidana) dan ada yang memilih crime control model
(menekankan efisiensi dan efektifitas peradilan pidana dengan
berlandaskan asas praduga tak bersalah) lebih menitikberatkan pada
proses yang lebih praktis.
Dalam perspektif criminal procedure (hukum acara pidana), Hebert L
Packer dalam The Limited of the Criminal Sanction mengemukakan dua model
dalam beracara. Kedua model itu adalah crime control model dan due
process model. Crime control model memiliki karakteristik efisiensi,
mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt (praduga bersalah)
sehingga tingkah laku kriminal harus segera ditindak dan si tersangka
dibiarkan sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan. Crime control
model ini diumpamakan seperti sebuah bola yang digelindingkan dan tanpa
penghalang. Sementara due process model memiliki karakteristik menolak
efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent (praduga
tidak bersalah) sehingga peranan penasihat hukum amat penting dengan
tujuan jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah.
Persoalan yuridis lain adalah berkenaan dengan masalah kriminalisasi
jenis-jenis kejahatan internasional. Belum semua negara sudah mampu
menerapkan undang-undang untuk memerangi kejahatan internasional.
3) Perjanjian antara negara belum memadai.
a. Perjanjian ekstradisi
Perjanjian ekstradisi diantara negara-negara masih sangat terbatas.
Upaya untuk mengembangkan perjanjian ekstradisi dengan negara lain
tidaklah mudah, karena sering terbentur dengan adanya konflik interest
dari masing-masing negara. Selain itu, sekalipun sudah ada perjanjian
ekstradisi, dalam kenyataannya proses penyerahan seorang pelaku
kejahatan dari satu negara ke negara lain, biasanya melalui suatu proses
yang sangat lama, bahkan sampai lebih dari satu tahun. Oleh karenanya
faktor perjanjian ekstradisi memerlukan kecermatan dalam penanganannya
sehingga tidak krusial sebagai penghambat proses penanganan kejahatan
yang berlingkup lintas negara.
b. Perjanjian bantuan timbal balik dibidang proses pidana
Bagi negara-negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi, masih
terbuka kemungkinan terjadinya penyerahan seorang pelaku kejahatan dari
satu negara ke negara lain dapat melalui apa yang dinamakan mutual legal
assistance in criminal matters, yaitu upaya memberikan bantuan
kerjasama penerapan hukum dalam penanganan kasus kriminal yang biasanya
dilakukan dengan asas resiprositas (timbal balik). Namun penerapan
dengan cara ini terkadang dikritik sebagai suatu tindakan yang menyalahi
aturan hukum lainnya misalnya tentang perlindungan HAM.(Supt. Budiman Parangin-angin, Mutual Legal Assistance (MLA), Majalah Interpol, 2006, hal. 59) Kerjasama kepolisian internasional dalam wadah Interpol selalu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut : (Sardjono, Op. Cit., hal. 13-14 )
- Menghormati kedaulatan negara. Kerjasama didasarkan pada tindakan yang diambil oleh kepolisian negara anggota, dilaksanakan dalam batas dan undang-undang negara masing-masing.
- Penegakan hukum dari undang-undang kejahatan. Bidang kegiatan organisasi dibatasi pada pencegahan kejahatan dan penegakan hukum yang berhubungan dengan kejahatan hukum. Inilah satu-satunya yang menjadi dasar perjanjian di antara semua negara anggota.
- Universalitas. Setiap negara anggota dapat bekerjasama dengan negara anggota lainnya dan faktor geografi atau bahasa tidak boleh menghalangi kerjasama.
- Persamaan di antara semua negara anggota. Semua negara anggota diberikan pelayanan yang sama dan mempunyai hak yang sama, tanpa mengindahkan kontribusi keuangan kepada organisasi.
- Kerjasama dengan badan-badan lain. Kerjasama diperluas melalui NCB (National Central Bureau) dengan badan badan yang bertugas dibidang penanganan kejahatan negara masing-masing.
- Metode kerja fleksibel. Walaupun telah diatur oleh prinsip-prinsip untuk menjamin keteraturan dan kelanjutan kerjasama, namun Interpol bekerja secara fleksibel dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan struktur dan situasi suatu negara anggota.